2.10.13

POLIGAMI PERSPEKTIF ISLAM

Poligami adalah perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang isteri dalam waktu yang bersamaan. Lawan dari poligami adalah monogami, yakni sistem perkawinan yang hanya membolehkan seorang suami memiliki seorang istri dalam satu waktu. Banyak nabi, termasuk Rasulullah SAW dan sebagian sahabat beliau, berpoligami dengan alasan tertentu. Dapat dikatakan bahwa dengan berpoligami perselingkuhan dapat dikurangi. Bukankah kemandulan atau penyakit parah merupakan satu kemungkinan yang dapat terjadi dimana-mana? Apakah jalan keluar yang dapat diusulkan kepada suami yang menghadapi kasus demikian? Bagaimanakah seharusnya ia menyalurkan kebutuhan biologisnya? Atau memperoleh dambaannya pada keturunan? Melarangnya berpoligami dapat mengundang perselingkuhan. Menahan kebutuhan seksnya juga menimbulkan stress. Menceraikan istrinya yang sakit, juga merupakan penganiayaan. Jalan keluar yang paling tepat, jika memang yang bersangkutan memenuhi syarat-syarat, adalah kawin lagi secara sah (berpoligami), tetapi dengan syarat adil dan baik-baik serta sepengetahuan istrinya.

Dalam perspektif Islam, poligami dibenarkan dengan syarat-syarat tertentu. Batasan ini didasarkan pada QS. An-Nisa’ [4]: 3 bahwa

“Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan (yatim), maka kawinilah apa yang kamu senangi dari perempuan-perempuan (lain); dua, tiga, atau empat. Lalu jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka seorang saja…”

Dari ayat itu dipahami bahwa aturan Islam hanya membatasi poligami sampai empat istri saja. Selain itu juga mengisyaratkan adanya rasa takut, yang juga dapat berarti mengetahui. Ini menunjukkan bahwa siapa yang yakin atau menduga keras atau bahkan menduganya, tidak akan dapat berlaku adil bila berpoligami, maka dia tidak diperkenankan melakukan poligami. Yang diperkenankan hanyalah yang yakin atau menduga keras dapat berlaku adil. Yang ragu, apakah bisa berlaku adil atau tidak, seyogyanya tidak diizinkan.

Al-Maraghi berpendapat bahwa kebolehan poligami adalah kebolehan yang dipersulit dan diperketat. Menurutnya, poligami diperbolehkan dalam keadaan darurat yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang benar-benar membutuhkan. Dia kemudian mencatat kaidah fiqhiyah “dar’u al-mafasid muqaddamun ‘ala jalbi al-mashalih”  (menolak yang berbahaya harus didahulukan daripada mengambil yang bermanfaat). Catatan ini dimaksudkan untuk menunjukkan betapa pentingnya untuk berhati-hati dalam melakukan poligami. Alasan yang membolehkan poligami, menurut al-Maraghi adalah*:
  1. Karena isteri mandul sementara keduanya atau salah satunya sangat mengharapkan keturunan;
  2. Apabila suami memiliki kemampuan seks yang tinggi sementara isteri tidak mampu meladeni sesuai dengan kebutuhannya;
  3. Jika suami memiliki harta yang banyak untuk membiayai segala kepentingan keluarga, mulai dari kepentingan isteri sampai kepentingan anak-anak; dan
  4. Jika jumlah perempuan melebihi jumlah laki-laki yang bisa jadi dikarenakan perang, atau banyaknya anak yatim dan janda akibat perang.
Al-Maraghi juga menegaskan hikmah pernikahan poligami yang dilakukan Nabi Muhammad SAW yang menurutnya ditujukan untuk syiar Islam. Sebab jika tujuannya untuk pemuasan nafsu seksual, tentu Nabi akan memilih perempuan-perempuan cantik dan yang masih gadis. Sejarah membuktikan bahwa yang dinikahi Nabi semuanya janda kecuali ‘Aisyah.

Jika kita perhatikan, praktik poligami di tengah-tengah masyarakat masih banyak mengabaikan aturan poligami sebagaimana penjelasan di atas. Kebanyakan dari mereka melakukan poligami hanya karena pemenuhan nafsu belaka, sehingga mengabaikan prinsip pokok dalam hukum Islam, yakni keharusan berlaku adil. Adil disini adalah keadilan dalam bidang material atau nafkah, muamalah, pergaulan, serta giliran tidur malam, bukan cinta. Wa Allahu A’lam.

*Al-Maraghi,  Ahmad  Musthafa.  1969.  Tafsir  al-Maraghi Jilid IV.  Mesir:  Mushthafa  al-Bab al-Halabi.

Tidak ada komentar: